JAKARTA – Komisi Informasi (KI) Pusat menggelar sidang lanjutan sengketa informasi publik register 049/IX/KIP-PSI/2025 perihal dokumen ijazah atas nama Joko Widodo pada pencalonan Presiden (capres) Tahun 2014 dan 2019 yang diperkarakan oleh Pengamat Kebijakan Publik, Dr. Bonutua Silalahi.
Sidang lanjutan pada Selasa (11/11) menghadirkan saksi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Andi Bagus dan ahli di bidang kearsipan, Hani Qonitah. Sidang digelar di Ruang Sidang KI Pusat, dengan susunan Syawaludin selaku Ketua Majelis dan beranggotakan Handoko Agung Saputro serta Gede Narayana sebagai Anggota.
Dalam persidangan, Andi Bagus selaku saksi KPU mengakui bahwa salinan ijazah mantan Presiden Jokowi sebagai peserta capres periode 2014 dan 2019 tersebut tidak termasuk dalam daftar dokumen yang termuat dalam jadwal retensi arsip (JRA) sebagaimana diserahkan kepada ANRI.
"Mohon izin kami tidak hafal, tapi yang jelas untuk konteks ijazah, ijazah itu tidak termasuk dokumen yang diserahkan KPU kepada ANRI," jelas Andi.
Saksi yang menjabat sebagai Kabag Biro Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU, mengutip dua Peraturan KPU (PKPU) yang mendasari disusunnya dokumen JRA saat itu, yakni Lampiran 1 PKPU Nomor 18 tahun 2013 dan Lampiran 1 PKPU Nomor 17 tahun 2016. Lebih lanjut, Andi mengatakan bahwa penyusunan kedua regulasi termasuk lampiran dimaksud merupakan ranah Pimpinan KPU selaku Pejabat pembuat kebijakan, dan telah ditandatangani oleh Ketua KPU saat itu. Saksi juga tidak mengetahui pertimbangan Pimpinan yang tidak memasukkan salinan ijazah sebagai syarat pencapresan mantan Presiden RI ke-7 tersebut dalam JRA yang diserahkan kepada ANRI selaku Termohon dalam sengketa informasi di KI Pusat.
"Jadi tidak diserahkan itu dampak dari ijazah tidak masuk dalam kebijakan (arsip retensi PKPU)," tambah Andi melanjutkan.
Sementara itu, Arsiparis, Hani Qonitah yang dihadirkan, menyampaikan beberapa hal sesuai bidang keilmuannya perihal retensi arsip. Hani menjelaskan dalam persidangan bahwa JRA sebagai tolak ukur untuk menentukan sebuah arsip dapat memiliki nilai guna sejarah (berkelanjutan), ataukah permanen maupun musnah.
“Jadi semuanya bergantung pada JRA,” tegas Ahli Kearsipan tersebut.
Sebelumnya, ANRI sebagai Termohon sengketa informasi yang digugat oleh Pemohon, menyatakan bahwa pihaknya tidak menguasai informasi perihal salinan ijazah pencapresan Jokowi pada pemilihan presiden Tahun 2014 dan Tahun 2029.
ANRI beralasan bahwa dokumen tersebut masih dalam penguasaan KPU, dan mengakui hanya mendapatkan 17 dokumen syarat pencalonan presiden Jokowi sebagai lampiran JRA. Oleh karena itu, ANRI selaku Pihak yang disengketa dalam perkara tersebut pada akhirnya tidak dapat menunjukkan dokumen sebagaimana diminta dalam forum persidangan sengketa di KI Pusat. (Tim Humas KI Pusat - Laporan : Tri Dading / Foto : April Alin)